Satu ketika seorang sahabat bertanya kepada Ali ra.
“Apa anda pernah melihat Tuhan?”
Demikian pertanyaannya. Ia kemudian menambahkan, “Bagaimana aku menyembah yang tidak pernah aku lihat”.
“Bagaimana anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Maka Ali pun menjawab, “Dia tidak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan”.
Riwayat ini kembali mempertegas betapa pentingnya hati bagi para pencari Tuhan. Hanya saja, cahaya hati terkadang tidak memancar dalam diri seseorang karena banyaknya bintik-bintik hawa nafsu di dalamnya. Karena itulah pintu menuju Tuhan tidak akan terbuka selama hawa kita masih berdiri sebagai gunung yang tegak. Tetapi ia akan terbuka bila si pencari Tuhan telah mampu menaklukkan hawa nafsu atau egoismenya itu.
Berdasarkan kenyataan itu, sehingga para ulama –utamanya ulama sufi- berusaha mencari, mengamalkan, dan mengajarkan metode pendekatan diri kepada Tuhan, di antaranya melalui تزكية النفس (mensucikan hati) dan استغراق القلب بذكر الله (memenuhi hati dengan memperbanyak zikir kepadanya).
Metode-metode yang diajarkan ulama tersebut lambat-laun dipraktekkan dan diamalkan secara kolektif dan bersama-sama. Dan inilah yang dikatakan “tarekat”.
Untuk mendapatkan pengertian yang utuh dari suatu istilah, pertama-tama biasanya diuraikan tentang pengertian bahasa –etimologi- dari istilah tersebut. Demikian pula dengan term tarekat yang berasal dari bahasa Arab طريقة yang merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata طرق- يطرق- طريقة yang memiliki arti الكيفية (jalan, cara), الأسلوب (metode, sistem), المذهب (madzhab, aliran, haluan), dan الحالة (keadaan).
Pengertian ini membentuk dua makna istilah yaitu metode bagi ilmu jiwa akhlak yang mengatur suluk individu dan kumpulan sistem pelatihan ruh yang berjalan sebagai persahabatan pada kelompok-kelompok persaudaraan Islam. Hanya saja tarekat dalam pembahasan ini bukan sekedar jalan atau metode biasa, tetapi jalan dan metode tersebut penekanannya pada hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tarekat adalah suatu jalan menuju Tuhan (Allah) yang dapat membawanya kepada kebahagiaan dunia akhirat. Jalan tersebut dalam lingkup tasawuf memiliki makna ganda –sebagaimana disebutkan di atas. Pertama, pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi atau sekitar abad ke-1 dan ke-2 Hijriah berarti cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang menempuh hidup sufi. Kedua, sesudah abad ke-11 M atau abad ke-3 H. tarekat mempunyai pengertian sebagai suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani pada segolongan kaum muslimin menurut ajaran dan keyakinan tertentu.
Dalam pengertian pertama, istilah tarekat masih berupa teori yang digunakan untuk memperdalam syariat sampai kepada hakikatnya dengan melalui tingkat-tingkat pendidikan tertentu –berupa maqamat dan ahwal. Dengan kata lain tarekat merupakan usaha pribadi seseorang melewati jalan yang mengantarkannya menuju Allah SWT, jalan yang dimaksud –sesuai penjelasan Syekh Muhammad Nawawi al Banteni al Jawi- adalah melakukan hal-hal yang bersifat wajib dan sunat, meninggalkan sesuatu yang bersifat larangan, menghindarkan diri dari melakukan sesuatu yang boleh secara berlebihan serta berusaha untuk bersikap hati-hati melalui upaya mujahadah dan riyadhah. Sedangkan Haidar Bagir menjelaskan bahwa tarekat dalam arti yang pertama adalah jalan spiritual oleh seorang pejalan (salik) menuju hakikat. Untuk makna ini, ia identik dengan tasawuf.
Dalam pengertian yang kedua, tarekat adalah kelompok-kelompok pengikut ajaran tasawuf yang menekankan praktik-praktik ibadah dan zikir secara kolektif yang diikat oleh aturan-aturan tertentu, di mana aktifitasnya bersifat duniawi dan ukhrawi. Dengan kata lain, ia dapat dipahami sebagai suatu hasil pengalaman dari seorang sufi yang diikuti oleh para murid, menurut aturan/cara tertentu yang bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengalaman sufi berupa tata cara zikir, riyadhah, doa-doa yang telah diamalkan dan menurutnya –sang sufi- telah berhasil mendekatkan diri sang sufi kepada Tuhan, inilah yang disusun sedemikian rupa menjadi aturan/tata cara yang baku, yang juga harus diikuti oleh murid-murid tarekat. Khusus dalam tulisan ini selanjutnya, yang dimaksudkan dengan istilah tarekat adalah menurut pengertian yang kedua.
Karena pengalaman sufi sifatnya individual dalam artian sangat mungkin tidak sama antara satu sufi dengan sufi lainnya, maka dalam aplikasinya muncul tata cara dan atau aturan yang berlainan pula. Lebih jauh muncullah tarekat-tarekat dengan nama dan kaifiyat yang bermacam-macam.
Sebagai contoh, Syekh Abdul Qadir al Jailani -pendiri tarekat Qadiriyah- selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, dia memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun beberapa ajaran tersebut adalah taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha dan jujur. Bahkan di antara praktik spiritual yang diadopsi oleh tarekat ini adalah zikir (terutama melantunkan asma’ Allah berulang-ulang). Dalam pelaksanaanya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir yang terdiri atas satu, dua, tiga dan empat.
Praktik zikir dapat dilakukan bersama-sama, dibaca dengan suara keras atau perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran setelah shalat, pada waktu subuh maupun malam hari. Setelah melakukan zikir, pelaku tarekat ini dianjurkan untuk melakukan apa yang disebut dengan pas al anfas yakni mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam proses menarik dan menghembuskan napas, asma’ Allah bersikulasi dalam tubuh secara otomatis. Kemudian ini diikuti dengan muraqabah dan kontemplasi.
Hanya saja dari sekian banyak pengalaman pribadi para sufi tampaknya terdapat beberapa aturan dan cara yang bisa dikategorikan dalam kesepakatan mereka, yaitu; mendalami ilmu yang berkaitan dengan syariah, mengendalikan nafsu untuk menghindari dosa, memperbanyak zikir dan doa tertentu, serta tidak meringankan amaliah-amaliah yang dilakukan.
//disarikan dari berbagai sumber
All Comments
No Comments
Your Comment