Masa sahabat khususnya pada zaman pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash Shiddiq (11-13 H), dan pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H), pembahasan masalah masalah akidah belum muncul. Mereka merumuskan ajaran
akidah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Saw. dan mereka juga memahami ayat-ayat dengan makna apa adanya, tanpa memberikan penta’wilan. Oleh sebab itu
selama kurang lebih dua dekade ini, nyaris tidak ada persoalan-persoalan serius dalam
masalah akidah.Akan tetapi setelah Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H) melakukan perubahan dalam sistem administrasi pemerintahannya timbul kekacauan politik, yang
mencapai klimaks pada masa pemerintah Khalifah Ali bin Abi Thalib, sehingga terjadi perang saudara dan mengakibatkan umat Islam terpecah belah. Perpecahan
politik ini menimbulkan akibat munculnya berbagai pemikiran teologi, sehingga berkembang perdebatan-perdebatan panjang dan menimbulkan berbagai aliran dalam
ilmu kalam. Namun yang menjadi catatan bahwa khalifah Ali sendiri beserta sahabat besar yang lain terus mempertahan akidah sebagaimana diwariskan Rasulullah Saw. Khalifah Ali juga memahami ayat-ayat dengan makna apa adanya, tanpa memberikan
penta’wilan. Beliau berkata:
“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333). Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya,bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
All Comments
No Comments
Your Comment